header-int

Hijrah Abadi Yang Tidak Boleh Berhenti

Selasa, 15 Nov 2022, 14:51:29 WIB - 20 View
Share

 

“Penghijrah sejati adalah orang yang berhijrah dari apa yang dilarang Allah terhadapnya.” (HR. Bukhari, no. 6484 dan Muslim, no. 43).

Saudaraku,
Persahabatan dan ukhuwah sejati, salah satu parameternya adalah suburnya kerinduan dan rasa ingin selalu berdekatan dengan orang yang kita mencintainya karena Allah.

Dan itulah yang dirasakan seorang sahabiyah Asma’ binti Umais, yang pernah menjadi peserta rombongan hijrah gelombang kedua ke Habasyah tahun ke 5 bi’tsah bersama 83 laki-laki dan 18 perempuan.

Ada kerinduan yang mengkristal di hati Asma’ binti Umais terhadap teman dekatnya di Mekkah al-Mukarramah; Hafshah binti Umar. Terlebih keduanya telah berpisah cukup lama kurang lebih 13 tahun, setelah Asma’ hijrah bersama suaminya Ja’far bin Abu Thalib ke Habasyah.

Maka setelah Asma’ tiba di Madinah pasca takluknya yahudi Khaibar tahun ke 7 H, ia berkunjung ke rumah Hafshah. Setelah bertemu, keduanya pun melepas rindu yang menggumpal di dada.

Di sela-sela perbincangan keduanya, Umar r.a yang baru tiba di rumah puterinya dan sadar ada tamu di rumah itu, ia bertanya kepada Hafshah,

“Siapakah perempuan (yang berkunjung kepadamu) ini?.”

Hafshah menjawab, “Asma’ binti Umais.”

“Apakah ia perempuan yang hijrah ke Habasyah lewat jalur laut itu?.” tanya Umar.

“Ya.” Jawab Asma’.”

Umar berkata (bercanda untuk mencairkan suasana), “Kami telah mendahului kalian hijrah (ke Madinah), maka kami lebih berhak untuk mengambil tempat lebih dekat di hati Rasulullah daripada kalian.”

Saudaraku,
Asma’ memutar kembali lagu kenangan di benaknya. Bagaimana kisah pilu yang ia alami bersama kaum muslimin lain di negeri Habasyah. Negeri yang asing bagi mereka. Jauh dari keluarga dan sanak saudara. Asing dalam bahasa, agama, adat istiadat, lingkungan dan yang seirama dengan itu.

Hari demi hari dilalui yang jauh dari kata ‘cerah’. Berat dirasakan olehnya hidup di sebuah lingkungan yang beda agama dan keyakinan. Sebaik apa pun penduduknya memperlakukan dan menghargai mereka.

Dan yang lebih pahit mereka rasakan adalah berjauhan fisik dengan Rasulullah s.a.w, murabbi (pendidik) sejati mereka. Tapi mereka melakukan itu, juga karena mentaati Allah dan Rasul-Nya, yang mereka berharap meraih cinta-Nya dan cinta rasul-Nya.

Saudaraku,
Asma’ memutar kembali kaset rekaman hidupnya selama 13 tahun di negeri raja Najasyi. Hari-hari asing yang dialaminya. Perjuangan berat yang dilakukannya selama di sana membuat ia marah mendengar perkataan Umar walaupun ia tahu bahwa Umar sekadar bercanda, berbasa basi membuka percakapan dengannya.

Sehingga ia berkata, “Tidak demikian demi Allah, kalian hidup bersama Rasulullah s.a.w. Beliau mengangkat rasa lapar orang yang tiada, dan memahamkan orang yang jahil terhadap agama. Sedangkan kami berada di sebuah negeri yang tidak kami sukai di Habasyah. Yang demikian itu kami lakukan demi meraih ridha Allah dan rasul-Nya. Tersiksa bathin kami dan hati kami didera rasa takut.

Lalu ia bangkit dan berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menikmati makanan dan minuman kalian yang telah terhidang saat ini sehingga aku melaporkan apa yang engkau katakan ini kepada Rasulullah s.a.w.”

Saudaraku,
Setelah Nabi s.a.w mendengarkan pengaduan sahabiyah ini, beliau bersabda, “Ia (Umar) tidak lebih berhak berdekatan denganku daripada kalian. Ia dan sahabat lainnya hanya hijrah sekali (dalam hidupnya), sedangkan kalian (wahai) ahlus safinah hijrah (karena Allah dan rasul-Nya) dua kali (ke Habasyah dan Madinah).” (HR. Bukhari: 4230).

Saudaraku,
Demikianlah apresiasi Rasulullah s.a.w kepada para sahabat yang telah berhijrah ke Habasyah. Mereka memiliki kredit poin lebih banyak dibanding para sahabat yang hijrah ke Madinah. Narasi verbal dari lisan beliau, merupakan ungkapan keridhaan beliau kepada mereka.

Bahkan Abu Musa al-Asy’ari, sahabat terkemuka yang juga ikut serta dalam peristiwa hijrah ke Habasyah sering meminta kepada Asma’ untuk mengulang-ulang sabda Nabi s.a.w tersebut. Karena dengan mendengar sabda beliau itu, akan mengalirkan kebahagiaan dan ketenteraman di dalam hatinya.

Saudaraku,
Dialog imani antara Umar dan Asma’ di atas mengalirkan air faedah, yang dapat membasahi kegersangan jiwa-jiwa kita. Di antaranya:

•    Rasulullah s.a.w selalu memberikan apresiasi positif kepada para sahabat yang berprestasi di hadapan Allah dan rasul-Nya. Seperti ucapan beliau perihal para sahabat yang hijrah ke Habasyah. Jika kita ingin menjadi murabbi (pendidik) yang sukses, maka kita jangan bakhil untuk memberikan pujian kepada para peserta didik kita. Selama mereka berprestasi dan tidak berlebihan dalam pujian. Hal itu bisa menjadi motivator bagi mereka untuk meningkatkan prestasi. Baik di bidang ilmu maupun kepribadian.

•    Anjuran untuk selalu mengunjungi saudara di jalan Allah. Bukan berarti kita bersilaturahim setiap hari. Atau memperbanyak kuantitasnya. Karena terlalu sering kita mengunjungi mereka, justru dapat menghilangkan makna silaturahim. Sebab terkadang hal itu malah menyulitkan orang yang kita kunjungi.

•    Umar, Asma’, Abu Musa dan sahabat lainnya, yang bergelar generasi terbaik umat ini, mereka tetaplah manusia biasa. Dan mereka tidak pernah keluar dari tabiat dan habitat mereka sebagai manusia. Ada kebanggaan atas prestasi yang pernah diraih. Ada ketersinggungan saat mendengar ucapan yang melukai perasaan. Ada perasaan ingin mendapatkan pembelaan dan pengakuan dan seterusnya. Maka kita belajar dari mereka, bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain. Senantiasa JP (Jaga perasaan), tidak melukai hati, memberikan apresiasi, tidak merendahkan kualitas orang lain dan seterusnya.

•    Mereka telah mendapatkan keridhaan Allah dan rasul-Nya lantaran hijrah yang telah mereka lakukan. Kesempatan hijrah, yakni berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, telah sirna untuk kita. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Syaukani rahimahullah, “Laa hijrata ba’da al-fathi” (tiada hijrah setelah Mekkah takluk). Yang ada sekarang adalah hijrah secara maknawi.

•    Substansi hijrah di era kita sekarang adalah berpindah dari kebodohan kepada ilmu. Dari maksiat kepada taat. Dari dosa dan kesalahan kepada amal shalih. Dari bermusuhan kepada persaudaraan. Dari bermalas-malasan kepada semangat kompetisi. Dari kekasaran hati kepada kelemah lembutan. Dari yang hidup menyendiri menuju pintu pernikahan. Bagi yang sudah menikah kepada……(silahkan dilanjutkan).

•    Inilah hakikat hijrah yang pernah disinyalir Nabi s.a.w dalam sabdanya, “Orang hijrah sejati adalah yang berhijrah meninggalkan apa yang dilarang Allah terhadapnya.” (HR. Bukhari).

Saudaraku,
Mari kita menyambut tahun baru Hijriyah 1439 dengan semangat hijrah yang membahana. Semangat ibadah, dakwah, berkorban, mendidik diri dan generasi serta membuktikan diri sebagai abdi Ilahi.
Sudahkah kita berhijrah hari ini? Wallahu a’lam bishawab.

Kajian Kamisan
Pakuan Ratu, Way Kanan, 21 September 2017
Ustd.Fir’adi Abu Ja’far.Lc.M.Sy

(Dosen  IAI Agus Salim Metro)

Iai Agus Salim Institut Agama Islam Agus Salim Metro Jl. jenderal Sutiyoso No.7 Metro Pusat. Lampung
© 2024 IAI Agus Salim Follow IAI Agus Salim : Facebook Twitter Linked Youtube